Bagian 1 Dia
---------------------
Grup alumni s1 yang biasanya sepi menjadi ramai. Ketua kelas mengajukan usulan untuk membuat reuni khusus untuk kelas kami ketika libur lebaran. Kebetulan libur lebaran tahun ini cukup lama sehingga teman-teman yang tinggal di luar kota bisa ikut berkumpul. Meskipun tidak ikut memberi pendapat, saya mengikuti pembicaraan dengan dengan rasa ingin tahu, "Apakah dia akan ikut hadir?", yaa DIA, my unrevealed love, my hidden love, my one side love atau cinta terpendamku selama ini.
Berpikir tentang dia membuat hati dan pikiranku melayang ke 10 tahun yang lalu. Dia bukanlah cinta pada pandangan pertama, dia adalah cinta yang tumbuh karena interaksi. Kuliah di jurusan pendidikan membutuhkan banyak kegiatan yang melibatkan kelompok. Meskipun kelas kami termasuk kelas besar, yang berisi lebih dari 30 mahasiswa, namun entah kenapa saya sangat sering bertemu dengan dia dalam satu kelompok, "Mungkin takdir?" pikirku waktu itu dengan naif-nya.
"Apa yang membuat saya jatuh hati padanya?", berpikir ke belakang, dia bukanlah sosok pangeran seperti di komik kesukaan saya. Secara akademik dia biasa saja. Dia tidak kaya, dan juga tidak tampan seperti tokoh utama di drama asia yang sering saya tonton waktu itu. Dia bukan sosok yang tampan dan kaya seperti goo jon pyo di boys before flower, atau dingin terhadap wanita tapi sangat pintar seperti naoki irie di itazura na kiss. Bahkan meskipun saya pernah memimpikan memiliki kekasih seperti mereka yang ada di komik dan drama kesukaan saya, tapi sosok yang saya cintai di dunia nyata ketika berumur 18-20an masih manusiawi. Dia standar seperti kebanyakan teman kelas laki-laki saya pada waktu itu, mungkin dia sedikit pendiam jika berhadapan dengan perempuan, tetapi dia sangat akrab dengan teman laki-lakinya. Saat ini saya berpikir, mungkin saya menyukainya karena dia sedikit "cool" dibandingkan teman-teman kelas yang lain. Dia sedikit nakal tapi masih dalam koridor yang lurus, dan dia memiliki suara yang merdu dan pandai bermain gitar, kemampuan yang selalu membuat saya terpesona. Saya tersenyum jika mengingat hal itu, "sungguh naif".
Naif mungkin kata yang tepat, karena saya termasuk terlambat untuk jatuh cinta. Kepribadian saya yang introvert termasuk salah satu penyebabnya. Ini bukan pertama kalinya saya menyukai seseorang, sejak SMP saya pernah menyukai seseorang, bahkan cukup banyak hingga kelulusan SMA, tetapi saya tidak pernah benar-benar menginginkan mereka, seperti saya menginginkan dia. Hingga saat ini saya menganggap bahwa dia adalah cinta pertama saya.
"Brrrr!" getaran hp menyadarkan saya yang sedang asyik bernostalgia.
"@LaelaRynaldi bagaimana? kamu ikutan?"
Nama saya ditag dalam grup, ternyata saat ini mereka sedang membuat daftar nama yang akan ikut reuni. Saya scroll up list nama yang hadir, dan saya melihat namanya.
"Ya, saya ikut"
Entah kenapa tangan ini bergerak sendiri tanpa sempat saya memikirkan apapun. Setelah menyadarinya, saya menjadi bingung sendiri.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang?", pekikku dalam hati.
Bagian 2 H-5
--------------------
"Oke, kita sudah lengkap berkumpul. Hari ini kita.........". Heru sebagai ketua kelompok sedang menjelaskan tentang pembagian tugas kelompok. Saya hanya diam, tidak bisa fokus mendengarkan penjelasan Heru. Kami sedang kerja kelompok di rumah Nisa. Kami berkumpul di ruang tamu rumah Nisa, dan dia duduk tepat di samping saya. Hal ini membuat saya menjadi salah tingkah. Semoga tidak ada yang menyadari tingkah saya. Saya bersyukur jilbab di kepala saya menutupi keringat dingin yang keluar. Saya dan dia bertugas mengecat organel dari styrofoam yang telah dibentuk. Entah saya harus bersyukur atau mengeluh dengan ini. Saya bahagia bisa bersama dengan dia tapi saya khawatir dia dan teman yang lain menyadari tingkah saya yang aneh.
"Bagaimana kalau kita cat dua lapis, sehingga hasilnya lebih bagus?", Dia memberi usul pada saya.
"Oh iya, bisa", kata saya sambil menunduk menghindari tatapan matanya.
Kami pun mengecat bersama. Kebisuan melingkupi kami berdua. Saya mencuri pandang padanya yang sedang sibuk mengecat. Dia tidak terlalu rapi dalam mengecat, dan bagian yang kosong yang dia lewatkan kemudian saya rapikan. Sesekali tangan kami tidak sengaja bersentuhan, dan dia pun langsung minta maaf. Saya hanya tersenyum. Meskipun kami sering bersama dalam satu kelompok, tapi kami tidak akrab. Entah mengapa saya menyukai, mungkin karena sikapnya yang sopan pada wanita. Saya memandangnya lagi dan saya baru menyadari bahwa ada tahi lalat kecil di pipi kanannya, meskipun tidak jelas karena tertutupi kulitnya yang eksotik. Hari itu kami fokus pada mengerjakan tugas, tidak ada satupun kata yang keluar, dia pun tidak berinisiatif untuk membuka pembicaraan, saya pun demikian. Kami menyelesaikan tugas hari itu dalam diam, meskipun detak jantungku tidak pernah diam dan berdebar kencang semakin kencang.
"Ibu Ela, absen kelas IX.A ada dimana?. Pertanyaan ibu Siti mengembalikanku ke masa sekarang.
"Oh ini Ibu, maaf, tadi saya belum tanda tangan jadi saya mengambil absen dari rak". Saya tersenyum, bukan kepada ibu Siti, tapi pada diriku yang masih sempat memikirkan kenangan di masa lalu.
Saya menandatangani absen dan memberikannya pada ibu siti. Saya melihat pulpen dan kenangan saya tentang hari itu berlanjut.
"Ela..." saya kaget mendengar suara dia memanggil nama saya. Saya sudah bersiap untuk keluar dari pagar rumah Nisa karena tugas kelompok hari itu telah selesai.
"Ada apa?"
"Pulpen kamu ketinggalan". Dia memberikan pulpen dengan hiasan boneka doraemon yang saya buat sendiri.
"Saya tau pulpen ini punya kamu, hanya Ela yang punya pulpen seperti ini di kelas", katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih, saya pulang dulu", pamit saya buru-buru, takut dia mendengar suara detak jantung saya yang berdetak kencang melihat dia tersenyum.
"Ngak bareng Ika?", langkah saya tertahan mendengar pertanyaannya.
"Ika pulang diantar Hari, saya keluar ke depan buat naik angkot", kata saya.
"Kalau gitu kita bareng, saya juga tidak bawa motor hari ini".
" Apaaaaa?", teriakku dalam hati. Saya berusaha menahan diri. "Oke", jawabku pendek, berusaha tenang agar suaraku tidak bergetar.
Di sore hari itu, kami berjalan bersama. Saya menikmati matahari senja berwarna jingga. Seperti biasa, kami berdua hanya diam, meskipun demikian saya sangat bahagia. Saya tersenyum melihat dia menendang batu di tengah jalan ke pinggir. Hal-hal kecil seperti inilah yang membuat saya menyukainya. Saya mengucapkan terima kasih sebelum berpisah dengan dia dan masuk ke angkot. Saya masih bisa melihat bayangannya ketika dia menyeberang dan naik ke angkot yang lain. Hari itu saya tidak bisa tidur.
Bagian 3 H-2
--------------------
Reuni sebentar lagi dan saya memutuskan untuk membeli baju untuk dipakai ketika reuni. Saya sudah janjian dengan ika, teman kuliah saya dulu. Kami belanja bersama untuk persiapan kegiatan reuni. Setelah selesai berbelanja, kami makan bersama sambil mengobrol tentang masa ketika kami kuliah. Makan bersama dengan ika, mengingatkan saya ketika kami buka puasa bersama di tahun kedua. Buka puasa dilaksanakan di rumah salah satu teman sekelas kami waktu itu. Kami menyiapkan makanan dan berbuka puasa bersama, kemudian dilanjutkan dengan shalat tarawih berjamaah. Pada waktu itu, kami pulang agak larut, dan seperti kebiasaan kami sebelumnya, teman-teman perempuan yang rumahnya jauh akan diantar oleh teman laki-laki yang membawa kendaraan. Saya ingin pulang bersama dengan dia, tapi akhirnya saya pulang dengan Doni, yang rumahnya satu kompleks dengan rumah saya.
Saya masih ingat ketika saya sudah duduk di atas motor dan dia berteriak, "Don, hati-hati bonceng anak orang, awas klu lecet", Doni tertawa, dan saya pun tersenyum setengah hati. Jika saja dia tau, saya ingin duduk di jok motornya, bukan di motor Doni. Tapi karena arah rumah kami berlawanan, tentunya hal yang aneh jika saya meminta dia mengantarkan saya. Malam itu, Doni yang orangnya selalu rame, mengajak saya mengobrol sepanjang perjalanan.
Setelah hari itu, Doni rajin menghubungi saya, baik lewat telepon maupun pesan singkat untuk menanyakan kegiatan saya. Di kelas pun tidak jarang doni menghampiri saya dan mengajak mengobrol. Saya tahu maksud Doni dan berusaha menanggapinya dengan santai dan senormal mungkin. Namun, teman-teman di kelas mulai mengejek kami berdua sebagai pasangan, saya merasa terganggu, takut timbul kesalahpahaman, tapi saya tidak bisa membantah karena jika saya membantah, teman-teman akan semakin menjahili kami.
Hingga pada akhirnya, ketika kami kuliah lapangan, di malam perpisahan, ketika kami semua berkumpul di aula, Doni mendekati saya dan mengajak saya keluar sebentar.
"Ada apa?", tanya saya ketika kami sudah menjauh dari keramaian.
Doni terlihat kikuk. Dia menghela napas kemudian memandangi saya. "Saya ingin mengatakan bahwa saya menyukai kamu, mungkin kamu sudah menyadarinya". Kini giliran saya yang kikuk di depannya. Saya bingung bagaimana membalasnya. Saya tidak ingin menyakitinya, tapi bagaimanapun saya hanya menganggap dia teman. Saya menangkupkan jari jemari saya dan menguatkat diri. "Saya mohon maaf, saya tidak pernah berpikir ke arah sana tentang hubungan kita, saya hanya menganggap kita semua adalah teman". Saya menunduk tidak berani menatap mata Doni. Saya merasa tidak enak hati, takut menyakiti perasaannya.
"Tidak apa-apa. Saya sebenarnya menyadari hal itu, tapi saya hanya ingin mengatakan pada kamu, saya berharap kita tetap berteman baik setelah ini", jawabnya sambil tersenyum tipis.
"Terima kasih", saya merasa sedikit lega mendengar perkataannya
Setelah itu, kami berdua kembali ke aula, dan ketika masuk, pandangan saya beradu dengan dia. Saya langsung menundukkan pandangan. Saya melihat Doni yang langsung berkumpul dengan dia dan teman yang lain, dan ikut mengobrol. Apakah dia tau tentang saya dan Doni? Bagaimana jika dia salah paham? Berbagai pertanyaan berkecamuk di hati saya. Sepanjang malam itu, saya menghidar darinya. Ingin rasanya saya menangis malam itu.
Bagian 4 Hari H
--------------------------
Reuni berlangsung hari ini. Saya datang setengah jam sebelum acara. Di dalam ruangan restoran sudah ada Heru, Ika, dan Nisa. Kami pun mengobrol sambil menunggu teman yang lain. Satu persatu teman kami berdatangan. Sekitar 30 orang yang setuju untuk hadir di reuni kali ini. 5 menit sebelum acara dimulai, dia datang. Begitu dia masuk pandangan mata kami langsung bertemu, dia tersenyum dan saya pun membalasnya.
"Wahhhh, calon pengantin sudah datang", Rendi berteriak.
Saya kaget mendengarnya, siapa calon pengantin yang Rendi maksud.
"Halim, kapan kami diberi undangannya?" Tina ikut menimpali.
Rasanya saya disambar petir. "Dia? Menikah? Dengan siapa?", berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hati saya.
Dia duduk kemudian tertawa, "Nanti, undangan belum jadi, semua pasti akan diundang". Dia berkata sambil tertawa, namun entah mengapa saya merasa pandangan matanya tertuju pada saya.
Saya diam sejenak, lalu tersenyum, sedikit. "Selamat yaa, saya tidak tahu", kata saya lirih.
Dia memandangi saya "Iya, terima kasih", jawabnya, kembali sambil tersenyum.
Acara reuni dimulai ketika semua teman sudah berkumpul. Acara dimulai dengan perkenalan singkat, menceritakan kegiatan selama saat ini setelah lulus, kemudian dilanjutkan saling tukar kado, makan, games dan akhirnya karaoke bersama.
Saya duduk di sudut ruangan sambil mengamati teman-teman yang fokus pada Doni dan Nisa yang sangat bersemangat bernyanyi. Saya tersenyum, penampilan mereka cukup meringankan beban di hati saya ringan. Dari sesi perkenalan tadi, saya mengetahui bahwa dia baru saja melaksanakan acara lamaran dan akan menikah bulan depan. Saya berusaha menahan perasaan saya sepanjang acara, rasa kecewa dan menyesal menyelimuti perasaan saya.
"Kamu tidak berniat untuk lanjut s2?"
Saya hampir tersendak, kaget dia sudah duduk di samping saya. Saya menata perasaan saya.
"Tidak, saya enjoy dengan profesi saya saat ini sebagai guru di yayasan, sambil menunggu pendaftatan pns. Bagaimana pendidikan s2 kamu, sudah beres?", tanya saya.
" Yaa, baru saja bulan lalu sidang, sekarang saya jadi asdos di kampus kita. Masih ingatkan pak Rusli? Yang killer itu? Sekarang saya jadi asistennya, hahahaha"
Saya ikut tertawa mendenganya "iya, Bapak itu tegas banget klu ngajar", saya menimpali perkataannya.
Ruangan sangat ramai, tapi saya merasa sunyi meskipun dia ada bersama saya. Kami diam dan saya fokus melihat penampilan teman-teman. Sekarang Ardi yang tampil menyanyi, meskipun suara fals tapi Ardi sangat percaya diri. Dia bernyanyi dengan tingkah aneh sehingga membuat kami tertawa.
"Kamu sudah ada calon?", Dia memecah kesunyian di antara kami.
"Masih jomblo", jawab saya sambil tertawa kecil. "Saya tidak tahu kamu akan menikah", ucap saya lirih.
"Ya, kita tidak pernah saling kontak setelah lulus", ucapnya.
Saya pun menunduk, "Selamat yaa".
"Saya pernah menyukai kamu"
Saya kaget mendengar perkataan dia dan melihat dia dengan pandangan tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Dia tertawa kecil melihat reaksi saya "Saya serius, saya menyukai kamu sejak kita pertama bertemu, bahkan hingga lulus, tapi saya tidak punya keberanian untuk mengatakannya"
Saya menutup mulut tidak percaya. "Apakah saya sedang bermimpi?", kata saya dalam hati. Saya tidak sanggup berkata apapun, saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Melihat saya diam, dia melanjutkan, "Saya terlalu takut untuk mengutarakannya dan saya menyesali hal itu. Jujur saja, ketika saya tau Doni menyukaimu, hal membuat saya semakin tidak berani mengutarakan perasaan saya"
Saya diam dan dia kembali melanjutkan "Yaa meskipun Doni tidak mengutarakan persaannya, tetap saja saya yang tidak berani. Saya mengatakan ini bukan untuk tujuan apapun, saya hanya ingin mengatakannnya. Saya ingin menjadikannya masa lalu yang indah".
Saya menunduk, " Itu masa lalu bagi kamu, tapi bagiku tidak, hingga saat ini saya masih menyukaimu", kataku dalam hati. Saya menengadah, melihat matanya, mengepalkan tangan, dan tersenyum.
"Terima kasih atas perasaan kamu, saya sangat menghargainya", kataku lirih.
"Hahahaha, tidak apa-apa, toh semua hanya masa lalu, saya berharap kita berdua bisa bahagia dengan jalan kita masing-masing", katanya.
"Iya", saya menimpalinya sambil kembali tersenyum. Kami kemudian mengobrol beberapa saat, hingga kemudian teman-teman menyoraki dia untuk ikut bernyanyi. Dia pun pamit pada saya dan berjalan ke depan.
Saya mengamati dia yang sedang bernyanyi. Suaranya yang merdu masih sama seperti dulu, dan selalu membuat jantung saya berdetak kencang. Saya memilih untuk tidak mengutarakan perasaan saya. "Untuk apa?", pada akhirnya semua sudah menjadi masa lalu bagi dia. Saat itu, untuk pertama kalinya hati saya terasa sangat lapang. Semua beban yang sangat berat, hilang entah kemana. Saya tersenyum kembali, kemudian berdiri untuk berkumpul dengan teman-teman yang lain dan ikut menikmati penampilan dia.
---------------------
Grup alumni s1 yang biasanya sepi menjadi ramai. Ketua kelas mengajukan usulan untuk membuat reuni khusus untuk kelas kami ketika libur lebaran. Kebetulan libur lebaran tahun ini cukup lama sehingga teman-teman yang tinggal di luar kota bisa ikut berkumpul. Meskipun tidak ikut memberi pendapat, saya mengikuti pembicaraan dengan dengan rasa ingin tahu, "Apakah dia akan ikut hadir?", yaa DIA, my unrevealed love, my hidden love, my one side love atau cinta terpendamku selama ini.
Berpikir tentang dia membuat hati dan pikiranku melayang ke 10 tahun yang lalu. Dia bukanlah cinta pada pandangan pertama, dia adalah cinta yang tumbuh karena interaksi. Kuliah di jurusan pendidikan membutuhkan banyak kegiatan yang melibatkan kelompok. Meskipun kelas kami termasuk kelas besar, yang berisi lebih dari 30 mahasiswa, namun entah kenapa saya sangat sering bertemu dengan dia dalam satu kelompok, "Mungkin takdir?" pikirku waktu itu dengan naif-nya.
"Apa yang membuat saya jatuh hati padanya?", berpikir ke belakang, dia bukanlah sosok pangeran seperti di komik kesukaan saya. Secara akademik dia biasa saja. Dia tidak kaya, dan juga tidak tampan seperti tokoh utama di drama asia yang sering saya tonton waktu itu. Dia bukan sosok yang tampan dan kaya seperti goo jon pyo di boys before flower, atau dingin terhadap wanita tapi sangat pintar seperti naoki irie di itazura na kiss. Bahkan meskipun saya pernah memimpikan memiliki kekasih seperti mereka yang ada di komik dan drama kesukaan saya, tapi sosok yang saya cintai di dunia nyata ketika berumur 18-20an masih manusiawi. Dia standar seperti kebanyakan teman kelas laki-laki saya pada waktu itu, mungkin dia sedikit pendiam jika berhadapan dengan perempuan, tetapi dia sangat akrab dengan teman laki-lakinya. Saat ini saya berpikir, mungkin saya menyukainya karena dia sedikit "cool" dibandingkan teman-teman kelas yang lain. Dia sedikit nakal tapi masih dalam koridor yang lurus, dan dia memiliki suara yang merdu dan pandai bermain gitar, kemampuan yang selalu membuat saya terpesona. Saya tersenyum jika mengingat hal itu, "sungguh naif".
Naif mungkin kata yang tepat, karena saya termasuk terlambat untuk jatuh cinta. Kepribadian saya yang introvert termasuk salah satu penyebabnya. Ini bukan pertama kalinya saya menyukai seseorang, sejak SMP saya pernah menyukai seseorang, bahkan cukup banyak hingga kelulusan SMA, tetapi saya tidak pernah benar-benar menginginkan mereka, seperti saya menginginkan dia. Hingga saat ini saya menganggap bahwa dia adalah cinta pertama saya.
"Brrrr!" getaran hp menyadarkan saya yang sedang asyik bernostalgia.
"@LaelaRynaldi bagaimana? kamu ikutan?"
Nama saya ditag dalam grup, ternyata saat ini mereka sedang membuat daftar nama yang akan ikut reuni. Saya scroll up list nama yang hadir, dan saya melihat namanya.
"Ya, saya ikut"
Entah kenapa tangan ini bergerak sendiri tanpa sempat saya memikirkan apapun. Setelah menyadarinya, saya menjadi bingung sendiri.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang?", pekikku dalam hati.
Bagian 2 H-5
--------------------
"Oke, kita sudah lengkap berkumpul. Hari ini kita.........". Heru sebagai ketua kelompok sedang menjelaskan tentang pembagian tugas kelompok. Saya hanya diam, tidak bisa fokus mendengarkan penjelasan Heru. Kami sedang kerja kelompok di rumah Nisa. Kami berkumpul di ruang tamu rumah Nisa, dan dia duduk tepat di samping saya. Hal ini membuat saya menjadi salah tingkah. Semoga tidak ada yang menyadari tingkah saya. Saya bersyukur jilbab di kepala saya menutupi keringat dingin yang keluar. Saya dan dia bertugas mengecat organel dari styrofoam yang telah dibentuk. Entah saya harus bersyukur atau mengeluh dengan ini. Saya bahagia bisa bersama dengan dia tapi saya khawatir dia dan teman yang lain menyadari tingkah saya yang aneh.
"Bagaimana kalau kita cat dua lapis, sehingga hasilnya lebih bagus?", Dia memberi usul pada saya.
"Oh iya, bisa", kata saya sambil menunduk menghindari tatapan matanya.
Kami pun mengecat bersama. Kebisuan melingkupi kami berdua. Saya mencuri pandang padanya yang sedang sibuk mengecat. Dia tidak terlalu rapi dalam mengecat, dan bagian yang kosong yang dia lewatkan kemudian saya rapikan. Sesekali tangan kami tidak sengaja bersentuhan, dan dia pun langsung minta maaf. Saya hanya tersenyum. Meskipun kami sering bersama dalam satu kelompok, tapi kami tidak akrab. Entah mengapa saya menyukai, mungkin karena sikapnya yang sopan pada wanita. Saya memandangnya lagi dan saya baru menyadari bahwa ada tahi lalat kecil di pipi kanannya, meskipun tidak jelas karena tertutupi kulitnya yang eksotik. Hari itu kami fokus pada mengerjakan tugas, tidak ada satupun kata yang keluar, dia pun tidak berinisiatif untuk membuka pembicaraan, saya pun demikian. Kami menyelesaikan tugas hari itu dalam diam, meskipun detak jantungku tidak pernah diam dan berdebar kencang semakin kencang.
"Ibu Ela, absen kelas IX.A ada dimana?. Pertanyaan ibu Siti mengembalikanku ke masa sekarang.
"Oh ini Ibu, maaf, tadi saya belum tanda tangan jadi saya mengambil absen dari rak". Saya tersenyum, bukan kepada ibu Siti, tapi pada diriku yang masih sempat memikirkan kenangan di masa lalu.
Saya menandatangani absen dan memberikannya pada ibu siti. Saya melihat pulpen dan kenangan saya tentang hari itu berlanjut.
"Ela..." saya kaget mendengar suara dia memanggil nama saya. Saya sudah bersiap untuk keluar dari pagar rumah Nisa karena tugas kelompok hari itu telah selesai.
"Ada apa?"
"Pulpen kamu ketinggalan". Dia memberikan pulpen dengan hiasan boneka doraemon yang saya buat sendiri.
"Saya tau pulpen ini punya kamu, hanya Ela yang punya pulpen seperti ini di kelas", katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih, saya pulang dulu", pamit saya buru-buru, takut dia mendengar suara detak jantung saya yang berdetak kencang melihat dia tersenyum.
"Ngak bareng Ika?", langkah saya tertahan mendengar pertanyaannya.
"Ika pulang diantar Hari, saya keluar ke depan buat naik angkot", kata saya.
"Kalau gitu kita bareng, saya juga tidak bawa motor hari ini".
" Apaaaaa?", teriakku dalam hati. Saya berusaha menahan diri. "Oke", jawabku pendek, berusaha tenang agar suaraku tidak bergetar.
Di sore hari itu, kami berjalan bersama. Saya menikmati matahari senja berwarna jingga. Seperti biasa, kami berdua hanya diam, meskipun demikian saya sangat bahagia. Saya tersenyum melihat dia menendang batu di tengah jalan ke pinggir. Hal-hal kecil seperti inilah yang membuat saya menyukainya. Saya mengucapkan terima kasih sebelum berpisah dengan dia dan masuk ke angkot. Saya masih bisa melihat bayangannya ketika dia menyeberang dan naik ke angkot yang lain. Hari itu saya tidak bisa tidur.
Bagian 3 H-2
--------------------
Reuni sebentar lagi dan saya memutuskan untuk membeli baju untuk dipakai ketika reuni. Saya sudah janjian dengan ika, teman kuliah saya dulu. Kami belanja bersama untuk persiapan kegiatan reuni. Setelah selesai berbelanja, kami makan bersama sambil mengobrol tentang masa ketika kami kuliah. Makan bersama dengan ika, mengingatkan saya ketika kami buka puasa bersama di tahun kedua. Buka puasa dilaksanakan di rumah salah satu teman sekelas kami waktu itu. Kami menyiapkan makanan dan berbuka puasa bersama, kemudian dilanjutkan dengan shalat tarawih berjamaah. Pada waktu itu, kami pulang agak larut, dan seperti kebiasaan kami sebelumnya, teman-teman perempuan yang rumahnya jauh akan diantar oleh teman laki-laki yang membawa kendaraan. Saya ingin pulang bersama dengan dia, tapi akhirnya saya pulang dengan Doni, yang rumahnya satu kompleks dengan rumah saya.
Saya masih ingat ketika saya sudah duduk di atas motor dan dia berteriak, "Don, hati-hati bonceng anak orang, awas klu lecet", Doni tertawa, dan saya pun tersenyum setengah hati. Jika saja dia tau, saya ingin duduk di jok motornya, bukan di motor Doni. Tapi karena arah rumah kami berlawanan, tentunya hal yang aneh jika saya meminta dia mengantarkan saya. Malam itu, Doni yang orangnya selalu rame, mengajak saya mengobrol sepanjang perjalanan.
Setelah hari itu, Doni rajin menghubungi saya, baik lewat telepon maupun pesan singkat untuk menanyakan kegiatan saya. Di kelas pun tidak jarang doni menghampiri saya dan mengajak mengobrol. Saya tahu maksud Doni dan berusaha menanggapinya dengan santai dan senormal mungkin. Namun, teman-teman di kelas mulai mengejek kami berdua sebagai pasangan, saya merasa terganggu, takut timbul kesalahpahaman, tapi saya tidak bisa membantah karena jika saya membantah, teman-teman akan semakin menjahili kami.
Hingga pada akhirnya, ketika kami kuliah lapangan, di malam perpisahan, ketika kami semua berkumpul di aula, Doni mendekati saya dan mengajak saya keluar sebentar.
"Ada apa?", tanya saya ketika kami sudah menjauh dari keramaian.
Doni terlihat kikuk. Dia menghela napas kemudian memandangi saya. "Saya ingin mengatakan bahwa saya menyukai kamu, mungkin kamu sudah menyadarinya". Kini giliran saya yang kikuk di depannya. Saya bingung bagaimana membalasnya. Saya tidak ingin menyakitinya, tapi bagaimanapun saya hanya menganggap dia teman. Saya menangkupkan jari jemari saya dan menguatkat diri. "Saya mohon maaf, saya tidak pernah berpikir ke arah sana tentang hubungan kita, saya hanya menganggap kita semua adalah teman". Saya menunduk tidak berani menatap mata Doni. Saya merasa tidak enak hati, takut menyakiti perasaannya.
"Tidak apa-apa. Saya sebenarnya menyadari hal itu, tapi saya hanya ingin mengatakan pada kamu, saya berharap kita tetap berteman baik setelah ini", jawabnya sambil tersenyum tipis.
"Terima kasih", saya merasa sedikit lega mendengar perkataannya
Setelah itu, kami berdua kembali ke aula, dan ketika masuk, pandangan saya beradu dengan dia. Saya langsung menundukkan pandangan. Saya melihat Doni yang langsung berkumpul dengan dia dan teman yang lain, dan ikut mengobrol. Apakah dia tau tentang saya dan Doni? Bagaimana jika dia salah paham? Berbagai pertanyaan berkecamuk di hati saya. Sepanjang malam itu, saya menghidar darinya. Ingin rasanya saya menangis malam itu.
Bagian 4 Hari H
--------------------------
Reuni berlangsung hari ini. Saya datang setengah jam sebelum acara. Di dalam ruangan restoran sudah ada Heru, Ika, dan Nisa. Kami pun mengobrol sambil menunggu teman yang lain. Satu persatu teman kami berdatangan. Sekitar 30 orang yang setuju untuk hadir di reuni kali ini. 5 menit sebelum acara dimulai, dia datang. Begitu dia masuk pandangan mata kami langsung bertemu, dia tersenyum dan saya pun membalasnya.
"Wahhhh, calon pengantin sudah datang", Rendi berteriak.
Saya kaget mendengarnya, siapa calon pengantin yang Rendi maksud.
"Halim, kapan kami diberi undangannya?" Tina ikut menimpali.
Rasanya saya disambar petir. "Dia? Menikah? Dengan siapa?", berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hati saya.
Dia duduk kemudian tertawa, "Nanti, undangan belum jadi, semua pasti akan diundang". Dia berkata sambil tertawa, namun entah mengapa saya merasa pandangan matanya tertuju pada saya.
Saya diam sejenak, lalu tersenyum, sedikit. "Selamat yaa, saya tidak tahu", kata saya lirih.
Dia memandangi saya "Iya, terima kasih", jawabnya, kembali sambil tersenyum.
Acara reuni dimulai ketika semua teman sudah berkumpul. Acara dimulai dengan perkenalan singkat, menceritakan kegiatan selama saat ini setelah lulus, kemudian dilanjutkan saling tukar kado, makan, games dan akhirnya karaoke bersama.
Saya duduk di sudut ruangan sambil mengamati teman-teman yang fokus pada Doni dan Nisa yang sangat bersemangat bernyanyi. Saya tersenyum, penampilan mereka cukup meringankan beban di hati saya ringan. Dari sesi perkenalan tadi, saya mengetahui bahwa dia baru saja melaksanakan acara lamaran dan akan menikah bulan depan. Saya berusaha menahan perasaan saya sepanjang acara, rasa kecewa dan menyesal menyelimuti perasaan saya.
"Kamu tidak berniat untuk lanjut s2?"
Saya hampir tersendak, kaget dia sudah duduk di samping saya. Saya menata perasaan saya.
"Tidak, saya enjoy dengan profesi saya saat ini sebagai guru di yayasan, sambil menunggu pendaftatan pns. Bagaimana pendidikan s2 kamu, sudah beres?", tanya saya.
" Yaa, baru saja bulan lalu sidang, sekarang saya jadi asdos di kampus kita. Masih ingatkan pak Rusli? Yang killer itu? Sekarang saya jadi asistennya, hahahaha"
Saya ikut tertawa mendenganya "iya, Bapak itu tegas banget klu ngajar", saya menimpali perkataannya.
Ruangan sangat ramai, tapi saya merasa sunyi meskipun dia ada bersama saya. Kami diam dan saya fokus melihat penampilan teman-teman. Sekarang Ardi yang tampil menyanyi, meskipun suara fals tapi Ardi sangat percaya diri. Dia bernyanyi dengan tingkah aneh sehingga membuat kami tertawa.
"Kamu sudah ada calon?", Dia memecah kesunyian di antara kami.
"Masih jomblo", jawab saya sambil tertawa kecil. "Saya tidak tahu kamu akan menikah", ucap saya lirih.
"Ya, kita tidak pernah saling kontak setelah lulus", ucapnya.
Saya pun menunduk, "Selamat yaa".
"Saya pernah menyukai kamu"
Saya kaget mendengar perkataan dia dan melihat dia dengan pandangan tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Dia tertawa kecil melihat reaksi saya "Saya serius, saya menyukai kamu sejak kita pertama bertemu, bahkan hingga lulus, tapi saya tidak punya keberanian untuk mengatakannya"
Saya menutup mulut tidak percaya. "Apakah saya sedang bermimpi?", kata saya dalam hati. Saya tidak sanggup berkata apapun, saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Melihat saya diam, dia melanjutkan, "Saya terlalu takut untuk mengutarakannya dan saya menyesali hal itu. Jujur saja, ketika saya tau Doni menyukaimu, hal membuat saya semakin tidak berani mengutarakan perasaan saya"
Saya diam dan dia kembali melanjutkan "Yaa meskipun Doni tidak mengutarakan persaannya, tetap saja saya yang tidak berani. Saya mengatakan ini bukan untuk tujuan apapun, saya hanya ingin mengatakannnya. Saya ingin menjadikannya masa lalu yang indah".
Saya menunduk, " Itu masa lalu bagi kamu, tapi bagiku tidak, hingga saat ini saya masih menyukaimu", kataku dalam hati. Saya menengadah, melihat matanya, mengepalkan tangan, dan tersenyum.
"Terima kasih atas perasaan kamu, saya sangat menghargainya", kataku lirih.
"Hahahaha, tidak apa-apa, toh semua hanya masa lalu, saya berharap kita berdua bisa bahagia dengan jalan kita masing-masing", katanya.
"Iya", saya menimpalinya sambil kembali tersenyum. Kami kemudian mengobrol beberapa saat, hingga kemudian teman-teman menyoraki dia untuk ikut bernyanyi. Dia pun pamit pada saya dan berjalan ke depan.
Saya mengamati dia yang sedang bernyanyi. Suaranya yang merdu masih sama seperti dulu, dan selalu membuat jantung saya berdetak kencang. Saya memilih untuk tidak mengutarakan perasaan saya. "Untuk apa?", pada akhirnya semua sudah menjadi masa lalu bagi dia. Saat itu, untuk pertama kalinya hati saya terasa sangat lapang. Semua beban yang sangat berat, hilang entah kemana. Saya tersenyum kembali, kemudian berdiri untuk berkumpul dengan teman-teman yang lain dan ikut menikmati penampilan dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon berkomentar dengan bahasa yang sopan karena bahasa Anda mencerminkan kepribadian Anda. Terima kasih :)